Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq." Sumber:
Semuameriwayatkan kisah ini melalui jalan Hammam bin Yahya, dari al-Qasim bin Abdul Wahid al-Makki, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu. Ibnu 'Aqil seorang yang hasan haditsnya. Al-Qasim bin Abdul Wahid dihukumi tsiqah hanya oleh Ibnu Hibban. Sementara itu, Abu Hatim ar-Razi mengatakan tentangnya
K4ziB. Jemaah haji padati Jabal Rahmah. ©REUTERS/Zohra Bensemra - Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang ’gila’ ilmu pengetahuan. Dia tak pernah bosan menggali ilmu sejak usia muda. Baca Alquran di sini. Umar bin al-Khaththab bahkan menyebutnya sebagai pemuda yang matang, mempunyai lisan yang gemar bertanya dan hati yang cerdas. Abdullah bin Abbas adalah sepupu Rasulullah. Dia anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib dan Ummu al-Fadl Lubaba. Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah. Begitu anak muda dari Bani Hasyim ini lepas dari gendongan ibunya, dia langsung menyertai Rasulullah. Ibnu Abbas selalu berada di samping Nabi Muhammad, baik saat salat maupun ketika melakukan safar. Ketika Rasulullah meninggal dunia, Ibnu Abbas mengarahkan dayanya untuk menggali ilmu dari para sahabat Nabi. Dia mulai belajar dan berguru kepada mereka. Suatu ketika, Ibnu Abbas mendengar sahabat Nabi Muhammad menyampaikan hadis. Tak menunggu lama, dia langsung mendatangi rumah sahabat tersebut di waktu istirahat siang untuk belajar. Ibnu Abbas membentangkan kainnya di teras pintu rumah sahabat Nabi. "Angin beri hembus membawa debu menyapu tubuhku. Kalau aku ingin, maka aku bisa meminta izin kepadanya dan dia pasti memberikan izin. Aku melakukan hal itu agar jiwanya rela," kata Ibnu Abbas dikutip dari buku Jejak Perjuangan dan Keteladanan Sahabat-sahabat Nabi yang ditulis Abdurrahman Ra'fat dari 2 halaman Ibnu Abbas tak mau diperlakukan istimewa saat menuntut ilmu, meskipun dia sepupu Rasulullah. Menurutnya, guru harus didatangi bukan sebaliknya. "Jika yang bersangkutan keluar dan dia melihatku dalam kondisi demikian, maka dia berkata, 'Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang? Mengapa engkau tidak memintaku untuk datang?' Maka aku menjawab, Aku lebih patut untuk datang kepadamu, karena ilmu itu yang seharusnya didatangi, bukan mendatangi," ujarnya. Usaha Ibnu Abbas mencari ilmu membuahkan hasil. Dia akhirnya mencapai derajat keilmuan tertinggi yang membuat orang-orang tercengang. Setelah mencapai derajat keilmuan seperti yang diharapkannya, Ibnu Abbas mengubah dirinya menjadi seorang pengajar bagi masyarakat. Rumahnya menjadi sebuah universitas bagi kaum Muslimin. Salah seorang murid Ibnu Abbas menceritakan, universitas Ibnu Abbas dipenuhi penuntut ilmu. Orang-orang bahkan berdesak-desakan di jalan menuju ke rumah Ibnu Abbas. "Mereka menutup jalan tersebut bagi orang lain, aku masuk kepadanya, aku menyampaikan kepadanya bahwa orang-orang berjejal-jejal di pintu rumahnya." [rnd]Baca jugaKisah Nabi Isa, dari Kelahiran hingga Mukjizatnya yang Perlu DiketahuiKisah Abdullah bin Mas'ud, Sahabat Nabi Punya Suara Merdu Saat Baca AlquranSejarah Munculnya Azan Sebagai Penanda Salat & Mimpi 2 Sahabat RasulullahKisah Perang Badar, dari Penyebab hingga Kemenangan Umat Islam di Bulan RamadanMengunjungi Situs Kerto, Saksi Bisu Kejayaan Mataram Islam yang Hampir Tak BersisaKisah Abu Dzar Al-Ghifari, Tolak Bantuan Penguasa dan Pilih Hidup Sederhana
Kisah Abdullah bin Abbas-Salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang mulia, Beliau adalah Tinta Ummat, lautan ilmu yang luas, serta fuqoha’ nya sahabat radliyallahu anhum, Imam Tafir. Tiada yang meragukan kedudukan Beliau di sisi Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam begitu pula keluasan ilmunya. Ya, Abdullah bin Abbas dikenal sebagai sahabat didikan Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang paling faham tentang al Qur’an dan yang paling mengetahui rahasia-rahasia al Qur’an. Apa rahasianya? Mari kita ikuti pelan-pelan kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat. Kami mulai dari.. Nama dan Nasab Abdullah bin Abbas Beliau adalah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Nasab Beliau sangat dekat dengan nasab Baginda Rasulullah shallallhu alaihi wasallam, karna ayahnua al Abbas bin Abdul Muttalib adalah paman Nabi -shallallahu alaihi wasallam. Sehingga bisa dikatakan ia adalah sepupu dari Baginda yang mulia Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wassalam. Sedangkan ibunya adalah Ummu al Fadl Lubanah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-, saudari Ummul Mu’minin Maimunah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-. Kisah Kelahiran Abdullah bin Abbas Abdullah bin Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah, tepatnya saat Bani Hasyim diuji dengan ujian yang berat yaitu pemboikotan oleh kaum Quraisy di Syi’ib atau lembah milik Abdul Muttalib. Ketika sang Ibu melahirkan Abdullah Ia membawanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam, kemudian Beliau mentahniqnya dengan ludah Beliau, sehingga ludah Rasulullah langsung masuk ke dalam mulut Abdullah bin Abbas. Maka Tak heran bila masuk pula ketakwaan serta hikmah yang luar biasa ke dalam pribadi Abdullah. Untaian Do’a dari Insan Termulia Tatkala Abdullah bin Abbas telah menginjak usia tamyiz usia tujuh tahun ia banyak mengiringi Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam- dan bahkan melayani Beliau -shallallahu alaihi wasallam- sehingga Abdullah puas meminum air hikmah yang memancar dari lisan mulia Baginda Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam-. Guru Patut Mendoakannya, Sebagaimana Nabi Mengajarkan... Suatu ketika Abdullah bin Abbas menginap di rumah bibinya Maimunah –radliyallahu anha-, di rumah maimunah Abbas menyiapkan secawan air untuk mandi Rasulullah. Tatkala Rasul hendak mandi, beliau bertanya "Siapa gerangan yang menyiapkan air ini?" Orang-orang yang disekitarnya menjawab, "Abdullah yang menyiapkannya" Lalu mengalirlah untaian doa kebaikan dari mulut mulia Beliau –Shalallahu alaihi wassalam- untuk sang anak berhati mulia Abdullah bin Abbas "Yaa Allah, ajarkan ia Tafsir ayat-ayatmu, serta anugerahkan ia ilmu agama yang mendalam" Berulang kali untaian doa kebaikan mengalir indah dari mulut Baginda –Shalallahu alaihi wassalam- untuk Abdullah –radliyallahu anhuma. Sehingga tak heran bila keberkahan doa ini terus mengalir kepadanya. Mulianya Abdullah bin Abbas Sungguh betapa harum namanya, teramat manis lisan menyebutnya, sebagai imamul mufassirin, sebagai habrul ummah, sebagai faqihul asr, sebagai turjumanil qur’an, dan banyak lagi gelar-gelar mulia yang disematkan kepadanya. Keteladanan dalam Menuntut Ilmu Decak kagum tak terelakkan bila menengok perjalanan menuntut ilmu pemuda ini. Ia kerahkan daya serta upaya untuk memenuhi obsesi yang seakan tak pernah mati. Ilmu yang shahih serta pengetahuan yang sangat tinggi menjadikan obsesi terbesarnya. Otak yang cerdik serta hati yang jernih selalu menemaninya dalam perjalanan menuntut ilmunya. Sejak usia tamyiz umur 7 tahun ia selalu di sisi Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam untuk terus mendulang faidah serta ilmu dari Beliau. Walaupun di usia belia ia ditinggal wafat oleh Rasulullah yaitu di usianya yang ke 13 tahun, ia telah mampu menghafal serta meriwayatkan 1660 hadits dari rasulullah serta menguasai kitabullah beserta tafsir dan rahasia-rahasia yang ada didalamnya yang tak banyak orang memahaminya. Seakan tak percaya.. bila kita hitung kebersamaan ia dengan Rasulullah hanya sekitar 6 tahun, itu pun di usia yang sangat belia. Adakah pencapaian yang lebih unggul?? Lantas, Adakah konsep pendidikan terbaik selain konsep dari Rasulullah? yang telah berhasil mencetak generasi sekualitas Abdullah bin Abbas. Murid yang Menerapkan Konsep Gurunya.. Merasa belum puas dengan pencapaiannya, pemuda ini melanjutkan rihlahnya menuntut ilmu kepada para sahabat senior Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam Dengan kerendahan hatinya ia muliakan para gurunya walaupun ia sendiri adalah orang yang mulia dihadapan mereka. Ia rela memposisikan dirinya dihadapan gurunya sebagaimana seorang budak dihadapan tuannya. Sebagaimana yang terjadi kepada gurunya yaitu Zaid bin Tsabit –radliyallahu anhu- seorang sahabat mulia, sang penulis wahyu, seorang ahli qadha, fiqih, dan ilmu waris.. Ketika Itu Zaid bin Tsabit hendak menunggangi kudanya, lalu Abdullah langsung berdiri dihadapannya memegangi kendali kudanya sebagaimana seorang budak yang berdiri memegangi kendali kuda tuannya saat tuannya hendak menaiki kudanya. Melihat apa yang dilakukan sepupu Rasulullah itu terhadapnya, Zaid bin Tsabit pun merasa sungkan dibuatnya seraya berkata "Tak pantas kau lakukan itu wahai sepupu Rasulullah”, lantas Ibnu Abbas menjawab 'Seperti inilah kami diajarkan untuk menghormati guru', kemudian Zaid pun berkata 'perlihatkan tanganmu kepadaku', lalu Ibnu Abbas memberikan tangannya kepada Zaid, dengan serta merta diciumnyalah tangan Abdullah seraya berujar 'beginilah kami diajarkan menghormati ahlu bait nabi." Di lain waktu, ketika Abdullah mendengar ada satu hadits yang dimiliki oleh salah satu dari sahabat Rasulullah, ia pun mendatanginya pada waktu qoilulah dan sahabat tersebut sedang tidur. Ia bentangkan selendang didepan pintunya kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas selendang tersebut untuk menunggu pemilik rumah membuka pintunya, debu-debu beterbangan di atas tubuhnya tertiup angin panas kota madinah, padahal kalau pun seandainya ia mau mengetuk pintu rumah tersebut niscaya ia akan dibukakan dan dipenuhi hajatnya, akan tetapi ia enggan melakukannya demi menghormati ulama. Tatkala pemilik rumah tersebut bangun dan membuka pintu serta keluar dan melihat keadaan Abdullah yang demikian, maka ia pun berkata kepada Abdullah "Wahai sepupu Rasulullah, mengapa gerangan datang kemari?, tidakkah Engkau kirim surat saja kepadaku agar aku yang datang kepada Engkau?", Abdullah pun menjawab "Aku yang lebih pantas datang kepadamu, ilmu itu didatangi bukan mendatangi". Kemudian ia menanyakan hadits yang dimaksud. Potret indah dari seorang pemuda mulia dalam menuntut ilmu. Sungguh masa muda yang indah, dipenuhi keberkahan serta kemuliaan dalam ketaatan serta kesungguhan dalam menuntut ilmu. Mengingatkan kita akan sebuah hikmah dari lisan baginda tercinta سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ........... و شاب نشأ في عبادة الله، ................ "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tiada naungan kecuali naunganNya diantaranya pemuda yang tumbuh dalam ibadah serta ketaatan kepada Allah, ........." Kedalaman Pemahaman Abdullah Terhadab Kitabullah dan Kedalaman ilmunya bagai samudra yang luas dan memberikan banyak manfaat kepada manusia. Pemahamannya terhadap kitabullah telah diakui oleh berbagai kalangan, itu terbukti beliau selalu dijadikan rujukan dalam masalah-masalah pelik oleh para Khulafa’ur Rasyidin. Sahabat yang mulia serta Khalifah Rasyidah kedua, Umar bin al Khattab –radliyallahu anhu-, begitu menghormati dan memuliyakannya. Dalam berbagai masalah beliau banyak mendahulukan pendapat Abdullah bin Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat yang lain yang lebih lama menemani Rasulullah, sehingga tak elak bila sebagian dari sahabat muhajirin bertanya-tanya ada apa gerangan sang khalifah selalu mendahulukan pendapat pemuda ini dibanding sahabat-sahabat senior Rasulullah yang kala itu masih hidup dan tak diragukan kedekatan mereka dengan Rasulullah. Maka Khalifah Umar mengumpulkan mereka, untuk menunjukkan pada mereka kelebihan Ibnu Abbas. di antara mereka terdapat pula sahabat-sahabat yang mengikuti perang badar. Sang Khalifah pun bertanya kepada mereka, "Adakah yang berkomentar tentang firman Allah-subhanahu wata’ala- surat An Nashr?" إذا جاء نصر الله و الفتح Angkat bicaralah sebagian mereka, "Allah memerintahkan Nabi-Nya tatkala melihat manusia berbondong-bondong masuk islam untuk memuji serta beristighfar kepada-Nya" Tak puas dengan jawaban ini Sang Khalifah berkata kepada Ibnu Abbas "Wahai Putra Abbas, bicaralah!". Maka Ibnu Abbas pun angkat bicara, "Yang aku fahami dari surat ini adalah pertanda dekatnya ajal Baginda Rasulullah, maka Allah perintahkan untuk banyak bertahmid serta beristighfar" Sungguh mencengangkan mata yang memandang, begitu dalamnya pemahaman sepupu Rasulullah ini terhadap al Qur’an. Tatkala datang kemenangan-demi kemenangan, pembukaan demi pembukaan, serta manusia berbondong-bondong untuk memeluk agama ini, pertanda bahwa tugas Baginda Rasulullah telah selesai dan telah dekat ajal Beliau. Peran Abdullah bin Abbas pada Ali bin Abi Thalib Tak hanya secara dzahir dikuasainya al Qur’an, tak luput pula dari pemahamannya mengenai rahasia-rahasia yang terkandung dalam untaian ayat-ayat al Qur’an. Kuatnya Hujjah Abdullah bin Abbas Tatkala terjadi perselisihan antara Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah -semoga Allah meridloi keduanya-, hingga terjadi perang Shiffin yang diakhiri dengan peristiwa tahkim atau arbitrase, sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib tak menghendaki adanya tahkim ini, bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena peristiwa itu. Orang-orang tersebut keluar dari barisan Ali –radliyallahu anhu-, maka mereka disebut kaum khawarij. Begitu mudah kaum ini menyematkan vonis kafir kepada seorang muslim hanya karena masalah sepele yang terkadang mereka tak fahami. Sehingga mereka kafirkan menantu Rasulullah ini dengan sebab setuju dengan tahkim. Mereka telah bersiap-siap memerangi Ali bin Abi Thalib. Maka tergerak hati Ibnu Abbas untuk mendatangi kaum khawarij guna mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Maka Ibnu Abbas pun menemui Ali bin Abi Thalib guna meminta izin untuk mendatangi mereka, seraya berkata "Wahai Amirul Mu’minin, izinkan aku untuk mendatangi kaummu yang berbelot?" Ali pun menjawab "Sungguh aku khawatir dengan keselamatanmu dari kejahatan mereka". Maka Ibnu Abbas menjawabnya dengan penuh keyakinan "InsyaAllah tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan" Maka pergilah Ibnu Abbas mendatangi kaum pembelot itu. Sungguh tiada kaum yang lebih giat ibadahnya selain mereka. Terlihat pipi mereka cekung, jidat mereka menghitam karena lamanya sujud. Tatkala mereka mengetahui kedatangan Ibnu Abbas, mereka pun menyambutnya seraya berkata Wahai putra Abbas, ada apa gerangan engkau kemari? Ibnu abbas pun menjawab "Maukah kalian menyimak ucapan saya?" Maka sebagian mereka berseru "Jangan dengarkan ucapannya". Sebagian lain berkata "Berucaplah!, kami akan mendengarkan" Ibnu Abbas pun memulai bicaranya seraya berkata "Beritahukan kepadaku yang tidak kalian sukai dari sepupu Rasulullah, suami dari putri tercinta beliau serta orang yang pertama memeluk islam?" Mereka pun menjawab "Tiga kesalahan yang tak kami ridloi. Adapun kesalahan pertama ialah bahwa ia mengangkat seseorang guna memberi putusan dalam agama Allah, kedua ia berperang melawan Aisyah dan muawiyah tanpa sedikitpun mengambi ghanimah serta menawan mereka, dan yang ketiga ia telah melepaskan gelar Amirul Mu’minin padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya." Satu persatu dipatahkan argumen lemah mereka. Beliau berkata "Bagaimana bila ku bacakan beberapa ayat dari kitabullah dan hadits Rasulullah yang tak dipungkiri kebenarannya, apakah kalian akan menarik kembali ucapan kalian?, mereka menjawab "Baiklah", maka Ibnu Abbas melanjutkan bicaranya "Adapun perkataan kalian bahwa Ali mengutus seseorang guna memberikan putusan dalam agama Allah, maka Allah berfirman ياأيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد و أنتم حرم، و من قتله منكم متعمدا فجزاء مثلما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم "wahai orang-orang yang beriman jangan kalian membunuh binatang buruan ketika sedang ihram. Barang siapa diantara kalian membunuh dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan yang ddibunuh, menurut putusan dua orang adil diantara kalian". [al Ma’idah 95] Aku atas nama Allah, apakah putusan orang yang menjaga darah dan jiwa mereka serta memperbaiki hubungan diantara mereka lebih baik dari putusan mereka terhadap kelinci yang hanya seharga 4 dinar?" Mereka pun menjawab "Tentu yang lebih baik adalah putusan orang yang menjaga pertumpahan darah kaum muslimin dan menjaga hubungan diantara mereka" Ibnu Abbas pun bertanya "Apaka kita telah sepakat dalam masalah ini?" Mereka menjawab "Yaa, kita sepakat" Abdullah bin Abbas berkata "Adapun ucapan kalian bahwa Ali melakukan perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai tawanan sebagai mana Rasulullah selalu menjadikan tawanan para wanita musuh. Apakah kalian ingin menjadikan ibu kalian sebagai budak yang dapat kalian gauli layaknya budak wanita??, kalau kalian mengatakan iya’ berarti kalian telah kafir, jika kalian mengatakan beliau bukan ibu kalian kalian pun telah kafir, Allah berfirman النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم، و أزواجه أمهاتهم "Nabi lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri-diri mereka, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka" [al Ahzab 6], Pilihlah mana yang lebih kalian sukai” Ibnu abbas pun melanjutkan ucapannya, "Apakah kita sepakat dalam masalah ini?"mereka pun menjawab "Yaa, kita telah sepakat" Ibnu Abbas berkata lagi "Sedangkan ucapan kalian bahwa Ali melepaskan gelar Amirul Mu’minin , sebagai jawabannya adalah ketika perjanjian Hudaibiyah Rasulullah meminta untuk menuliskan pada perjanjian damai 'Inilah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah' mereka berkata 'Kalau kami percaya Engkau adalah Rasulullah kami tak akan menghalangi kalian kebaitullah dan tak akan memerangi kalian', maka Rasulullah berkata 'Demi Allah aku adalah Rasulullah meski kalian mendustakan'. Maka perjanjian damai ditulis tanpa menyematkan kata rasulullah" Ibnu Abbas pun bertanya "Apa kita telah sepakat?" Mereka menjawab "Yaa kami telah sepakat" Maka buah dari kepiawaian Ibnu Abbas dan hikmah serta kedalaman ilmu beliau, kembalilah 20 ribu orang dari mereka kejalan yang benar, tinggal tersisa 4 ribu orang yang tetap keras kepala diatas kesesatan mereka. Kisah Wafatnya Abdullah bin Abbas Sudah 71 tahun Abdullah –radliyallahu anhuma- hiasi dengan ilmu, hikmah, dan ketaqwaan. Beliau warnai dunia dengan ilmu yang bermanfaat. Rumah beliau ibarat sebuah universitas yang tak pernah sepi dari para penuntut ilmu. Sehingga tak heran bila wafat beliau menorehkan duka dihati kaum muslimin., karena mereka telah kehilangan lautan ilmu dan hikmah yang tiada terukur kedalamannya. Ketika beliau wafat, Muhammad bin al Hanafiyah memimpin shalat jenazahnya bersama para sahabat yang masih taersisa dan para pembesar tabiin. Tatkala beliau hendak dimakamkan datang burung putih dan besar kemudian masuk ke kafan beliau dan tidak terliha keluar lagi. Dan ketika beliau telah dikuburkan, terdengar suara dari dalam kuburnya bacaan al qur’an surat al Fajr ayat 27 يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepangkuan rabmu denga ridza dan diridzai" Sungguh akhir hidup yang mulia. Akhir hidup yang didambakan semua insan. Akhir hidup yang khusnul khatimah. Sungguh Allah ridla kepadanya dan ia ridla kepada Allah. Tambahan Kesimpulan dan data dari hasil sentuhan nabi Abdullah bin Abbas yang lain adalah 10 kenabian - 68 H Mendapat doa dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam Meriwayatkan 1660 Hadits Umar menyebutnya sebagai remaja yang tua karna ilmunya Umar memanggil Abdullah bin Abbas bersama para sahabt senior lainnya untuk memcahkan masalah-masalah besar Menyadarkan 20 ribu khawarij dalam satu majelis Menjadi gubernur Basrah pada masa Ali "Dengan demikian, untuk menumbuhkan generasi yang menghasilkan poin di atas, kita perlu melihat 2 sudut cara Abdullah bin Abbas belajardan Seperti apa Konsep pendidikan nabi yang diajarkan Abdullah bin Abbas" Penulis Mursyidul Muhsiniin Referensi Suwar min hayat as shahabah karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya Siyar min a’lam an nubala’ karya imam ad dzahabi Tag Hafalan Nama lengkap Abdullah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Abdullah bin Abbas Lahir pada 10 kenabian di tahun pemboikotan dan meninggal pada 68 H Menyadarkan 20 ribu orang Menghafal 1660 Hadits nabi Salah satu gurunya adalah Zaid bin Tsabit RPA Apa RPA? > Baca Bonus Abana RPA dan TAG HAFALAN Orangtua langsung peraktek mendoakan anaknya atau muridnya sebagaimana Rasulullah mendoakan Abdullah bin Abbas Orangtua menyebutkab bagaimna Abdullah belajar dan menghormati gurunya serta mempunyai adab yang sangat bagus Orangtua anak untuk menteladani seluruh kehidupan Abdullah bin Abbas Anda Senang dengan kisah kisah redaksi kami seperti, Kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat, share!
JAKARTA - Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi. Periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Kisah yang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. Abu Ghaddah mengaku, menulis kitab itu bukan tanpa alasan. Semua berawal dari rasa penasaran dan rasa ingin tahunya tentang kiprah ulama dalam mencari ilmu. “Apa tujuan dan manfaat para ahli fikih membahas kasus-kasus yang dalam hitungan akal sehat—atau bahkan, menurut fakta sehari-hari dan kacamata agama—tak pernah dan tak mungkin terjadi?’’ ujarnya. Dalam istilah fikih, kerap disebut dengan fikih nawadir. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tulis Abu Ghaddah. Dari rasa penasaran itulah, ia melakukan penelusuran. Ia dibuat takjub ketika membaca karya Jurji Zaidan yang berjudul Ajaib Al-Makhluqat, sebuah buku yang mengisahkan tentang keunikan dan peristiwa luar biasa dari makhluk yang hidup di alam semesta. Terlebih, dalam buku itu sang penulis menyertakan beberapa gambar untuk memperkuat informasi yang disajikan. Satu pernyataan Abu Ghaddah pun terjawab. Ternyata, apa yang dibahas oleh para ulama di berbagai disiplin ilmu itu adalah salah satu dari fenomana yang ada di alam semesta. Abu Ghaddah merasa, betapa seorang ahli fikih pada zaman dulu mampu memprediksikan dan membahas kasus-kasus lalu menjelaskan hukumnya. Sebuah langkah besar yang tentu memerlukan kesungguhan dan ketelatenan. Konkretnya, tema ini sengaja dipilih oleh Abu Ghaddah tatkala tempatnya mengajar memberikan amanat kepadanya untuk mem berikan pelajaran dan ceramah umum pada Fakultas Syariah di Universitas Ibnu Su’ud, Riyadh. Tema utama yang mesti dikupas dalam ceramahnya tersebut sepu tar kondisi saat para ulama dan cendekiawan Muslim masa dulu sewaktu mencari ilmu. Abu Ghaddah mengelompokkan bentuk kesungguhan para ulama dalam dunia keilmuan ke dalam enam aspek yang berbeda. Pertama, ia mengelompokkan kisah-kisah ke tangguhan para ulama untuk melakukan “wi sata ilmu” atau rihlat fi thalab al ilm. Ke dua, ia menceritakan tentang keseriusan pa ra ulama dengan meninggalkan segala ben tuk kenikmatan, baik tidur di waktu siang dan malam hari, maupun rasa nikmat lainnya. Ketiga, kesabaran dan penerimaan mereka terhadap kondisi perekonomian dan sulitnya hidup. Keempat, Abu Ghaddah menceritakan ketangguhan para ulama untuk menahan lapar dan dahaga selama menuntut ilmu. Kelima, para ulama yang kehabisan bekal dan ongkos saat menuntut ilmu dan perjuangan mereka dalam keterasingan. Keenam, mengisahkan tentang kesulitan yang dialami oleh para ulama tatkala buku mereka raib atau hilang, dicuri, serta terbakar. Bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, dalam kitabnya, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq yang mengisahkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada gurunya bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, ia sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan. Kegigihan lainnya ditunjukkan oleh Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, dia mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik. Bahkan, karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim sering tidak mengetahui bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meningalkan rumah, tidak seperti kamu yang tertidur.” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini cukup memukul Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascakebakaran tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu. Al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberi uang sebesar dinar koin emas kepada Ibnu Lahiah. Namun, bagi para ulama, uang tak dapat menggantikan buku yang berarti sahabat dan teman hidup bagi mereka. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini